"Kenapa makin tinggi income seseorang, ternyata makin menurunkan peran uang dalam membentuk kebahagiaan ?"
Kajian-kajian dalam ilmu financial psychology menemukan jawabannya, yang kemudian dikenal dengan nama “hedonic treadmill”.
Kajian-kajian dalam ilmu financial psychology menemukan jawabannya, yang kemudian dikenal dengan nama “hedonic treadmill”.
Gampangnya, hedonic treadmill adalah seperti ini : "Saat gajimu 5 juta, semuanya habis. Saat gajimu naik 30 juta per bulan, eh semua habis juga.
Kenapa begitu ? Karena ekspektasi dan gaya hidupmu pasti ikut naik, sejalan dengan kenaikan penghasilanmu. Dengan kata lain, nafsumu untuk membeli materi/barang mewah akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan income-mu. Itulah kenapa disebut hedonic treadmill, seperti berjalan diatas treadmill, kebahagiaanmu tidak maju-maju...!"
Nafsu materi tidak akan pernah terpuaskan. Saat income 10 juta/bulan, mau naik Avanza. Saat income 50 juta/bulan pengen berubah naik Alphard. Itu salah satu contoh sempurna tentang jebakan hedonic treadmill.
Hedonic treadmill membuat ekspektasimu akan materi terus meningkat. Itulah kenapa kebahagiaanmu stagnan, meski income makin tinggi.
Ada eksperimen menarik : "Seorang pemenang undian berhadiah senilai Rp 5 milyar dilacak kebahagiaannya. Enam bulan setelah ia mendapat hadiah, apa yang terjadi ? Enam bulan setelah menang hadiah 5 milyar, level kebahagiaan orang itu SAMA dengan sebelum ia memenangkan undian berhadiah. Itulah efek hedonic treadmill."
Jadi apa yang harus dilakukan agar kita terhindar dari jebakan hedonic treadmill ? Lolos dari jebakan nafsu materi yang tidak pernah berujung ?
Terapkanlah gaya hidup yang bersahaja ! Sekeping gaya hidup yang tidak silau dengan gemerlap kemewahan materi.
Gaya hidup minimalis punya prinsip yang berkebalikan: less is more. Makin sedikit kemewahan materi yang Anda miliki, makin indah dunia ini. Gaya hidup minimalis yang bersahaja punya prinsip: hidup akan lebih bermakna jika kita hidup secukupnya. When enough is enough.
Kebahagiaan itu kadang sederhana : "Misal masih bisa menikmati secangkir kopi panas, memeluk anggota keluarga kita yang kita cintai, murah senyum, menyapa dan mengasih tip ke tukang sampah, membaca "makanan" spiritual sepanjang perjalanan menuju tempat tugas, berbakti untuk bangsa, mendalami agama, maka betapa indahnya hidup ini !
Bagaimana Islam memandang hal ini?
Islam adalah agama pertengahan. Islam melarang kikir, sekaligus melarang boros. Yang baik adalah pertengahan.
Konsep zuhud dalam Islam hakikatnya adalah tidak gandrung
pada dunia. Meletakkan dunia di tangan, tapi bukan di hati. Mengelola
dunia sesuai dengan apa yang telah diberikan Allah, tanpa melekatkan
kecintaan pada apa yang dikelola. Tak sedih apabila hartanya berkurang,
tak juga gembira bila hartanya bertambah.
Zuhud harus terimplementasi dalam gaya hidup. Tapi bukan
berarti menghindari gaya hidup yang sesuai kemampuan. Bukanlah zuhud
saat tidak mau membeli kendaraan padahal butuh, dengan alasan ingin
hidup sederhana. Kalau membeli kendaraan mewah karena ingin
bermewah-mewahan, itulah yang tidak zuhud. Tetapi karena kita butuh dan
mampu membelinya, lalu kita membeli kendaraan, dan kita pun tak berniat
bermewahan dengan kendaraan yang dibeli, itulah zuhud yang sebenarnya.
Islam mengajarkan umatnya untuk tahadduts binni’mah
(menampakkan kenikmatan). Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang
berpenampilan jauh dan bertentangan dengan kenikmatan yang diterimanya.
Seperti yang dikisahkan oleh Imam Al-Baihaqi bahwa salah seorang
sahabat pernah datang menemui Rasulullah saw. dengan berpakaian lusuh
dan kumal serta berpenampilan yang membuat sedih orang yang
memandangnya. Melihat keadaan demikian, Rasulullah bertanya, “Apakah
kamu memiliki harta?” Sahabat tersebut menjawab, “Ya, Alhamdulillah,
Allah melimpahkan harta yang cukup kepadaku.” Maka Rasulullah berpesan,
“Perlihatkanlah nikmat Allah tersebut dalam penampilanmu.” (Syu’abul
Iman, Al-Baihaqi)
Rasulullah saw pernah bersabda, “Tidak akan masuk surga
seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.”
Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka
memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya
Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran
dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim)
Jadi, selama dalam kewajaran dan tak ada niat bermewahan, peningkatan kebutuhan akibat peningkatan pendapatan itu wajar saja.
Yang tidak wajar adalah sikap boros yang mengimbangi
peningkatan pendapatan. Menampakkan nikmat yang diperintahkan bukan
dalam rangka boros. Walaupun mampu, boros tetap dicela dalam Islam.
Adakah batasan boros? Ukur saja, saat Anda konsumsi Anda
jauh melampaui kebutuhan. Entah itu dalam bentuk makanan, pakaian,
kendaraan, atau hal lain.
Silakan introspeksi dan timbang sendiri. Saat makin
meningkat pendapatan Anda, lalu semakin membuat Anda boros... saat
itulah hedonic treadmill bekerja !
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus